CHEONG, begitu pria usia 50 tahunan itu minta disapa,
tampak santai dengan jaket hitam serta celana training biru dan sepatu
kets warna putihnya. Dengan senyum ramah, Cheong mendekat dan
melontarkan sapaan khas orang Korea, ”Annyonghaseyo.”
Dengan diterjemahkan pemandu wisata kami, Cheong mencoba mengajak bicara rombongan jurnalis asal sejumlah negara, peserta program beasiswa Kwanhun-Korea Press Foundation 2013.
Kabut masih sedikit menyelimuti Desa Haemaru, salah satu dari tiga desa yang berlokasi paling dekat dengan kawasan demiliterisasi (DMZ) di sisi Korsel.
Desa yang dipimpin Cheong itu memang menjadi salah satu titik tujuan wisatawan yang datang ke lini terdepan perseteruan antar-kedua Korea itu.
Secara teknis, kedua Korea masih berperang walau Perang Korea, yang pecah mulai 25 Juni 1950, itu telah berhenti dengan ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata pada 27 Juli 1953.
”Kami tidak takut tinggal di sini. Saya memang sengaja ingin menikmati masa pensiun di kampung halaman. Dahulu saya bekerja di Seoul,” ujar Cheong.
Saat ini dia menjabat kepala desa di wilayah yang memang dirancang berpopulasi 60 keluarga atau tak boleh lebih dari 150 jiwa itu. Lantaran tak banyak orang tinggal, kawasan DMZ dan sekitarnya terbilang masih sangat alami.
Menurut Cheong, warganya masih kuat bekerja sebagai petani. Produk pertanian organik dari wilayah itu sangat terkenal dan dihargai mahal, menyaingi produk serupa dari Pulau Jeju.
Suasana di desa Cheong terbilang sepi dengan bangunan perumahan modern berhalaman luas dan asri. Hanya satu dua mobil tampak lalu lalang atau terparkir di depan rumah.
Beberapa warga yang tampak pun memang terbilang sudah berusia lanjut. Desa itu juga dibuka sebagai desa wisata di mana para turis bisa menginap dan merasakan kehidupan keseharian di sana.
Kawasan wisata tertata
Berwisata di kawasan sekitar DMZ itu memang terbilang menjadi pengalaman yang sangat berkesan.
Mengutip pernyataan dosen studi Indonesia di Universitas Hankuk untuk Studi Asing (HUFS), Maman S Mahayana, yang ditemui terpisah, Pemerintah Korsel telah sangat berhasil mengubah kawasan tersebut.
Lokasi yang jadi simbol trauma perang masa lalu kini menjadi kawasan yang bisa menjadi bahan ajar sejarah negeri itu bagi generasi penerus.
Tak hanya itu, Pemerintah Korsel juga berhasil mengubah daerah paling berbahaya itu menjadi kawasan wisata sejarah menarik, yang mampu menarik devisa dari para wisatawan asing yang datang.
Seperti juga tampak di banyak kawasan wisata yang menjadi lokasi kunjungan program beasiswa, kawasan DMZ tertata dengan sangat baik.
Lokasi parkir yang luas sanggup menampung hingga ratusan bus wisata berukuran besar, sarana prasarana toilet, restoran, toko cendera mata, semuanya tertata rapi, serta adanya fasilitas gedung museum.
Sejumlah titik atraksi wisatawan bersejarah yang ada di sekitar wilayah DMZ itu antara lain sejumlah lokasi menara pemantau di mana para pengunjung dapat melihat wilayah Korut lewat sejumlah teropong binokuler yang disediakan.
Selain itu, para wisatawan juga bisa mengunjungi salah satu dari empat lokasi tempat ditemukannya terowongan yang digali dan dipakai pasukan Korut untuk masuk ke wilayah Korsel.
Salah satu terowongan yang Kompas dan rombongan kunjungi adalah terowongan ketiga (3rd Tunnel) yang berhasil diungkap keberadaannya oleh pihak Korsel pada 1978.
Terowongan dengan tinggi dan lebar lorong masing-masing sekitar 2 meter itu dibangun dengan cara meledakkan struktur batu di kedalaman 73 meter di bawah permukaan tanah dengan dinamit.
Panjang terowongan lebih dari 1,6 kilometer dan berhasil masuk jauh melewati perbatasan sampai hanya sekitar 52 kilometer lagi dari ibu kota Seoul.
Terowongan itu diyakini mampu dilalui sedikitnya 30.000 tentara bersenjata lengkap per jamnya. Bisa dibayangkan, jika sampai terowongan itu tak terdeteksi, bagaimana sekali lagi Korut dapat menyerbu Korsel seperti mereka lakukan saat pertama kali Perang Korea terjadi.
Dalam sejarahnya, militer Korut memang terus berupaya menerobos masuk ke wilayah Korsel, bahkan hingga saat ini.
Salah satu operasi infiltrasi fenomenal, yang nyaris sukses dilancarkan Pyongyang, adalah ketika 31 prajurit komando Korut l melintasi perbatasan dan menyamar sebagai militer Korsel lalu menyerang Gedung Biru (kantor kepresidenan).
Pada peristiwa yang terjadi 17 Januari 1968 itu, 29 orang dari penyusup tewas dan dua orang lainnya ditangkap. Mereka menyusup untuk membunuh Presiden Park Chung-hee.
Suasana perang memang masih sangat kental terasa meski bus-bus dan para turis sibuk hilir mudik menikmati sejumlah lokasi wisata di sekitar wilayah lini terdepan pertempuran itu
Dengan diterjemahkan pemandu wisata kami, Cheong mencoba mengajak bicara rombongan jurnalis asal sejumlah negara, peserta program beasiswa Kwanhun-Korea Press Foundation 2013.
Kabut masih sedikit menyelimuti Desa Haemaru, salah satu dari tiga desa yang berlokasi paling dekat dengan kawasan demiliterisasi (DMZ) di sisi Korsel.
Desa yang dipimpin Cheong itu memang menjadi salah satu titik tujuan wisatawan yang datang ke lini terdepan perseteruan antar-kedua Korea itu.
Secara teknis, kedua Korea masih berperang walau Perang Korea, yang pecah mulai 25 Juni 1950, itu telah berhenti dengan ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata pada 27 Juli 1953.
”Kami tidak takut tinggal di sini. Saya memang sengaja ingin menikmati masa pensiun di kampung halaman. Dahulu saya bekerja di Seoul,” ujar Cheong.
Saat ini dia menjabat kepala desa di wilayah yang memang dirancang berpopulasi 60 keluarga atau tak boleh lebih dari 150 jiwa itu. Lantaran tak banyak orang tinggal, kawasan DMZ dan sekitarnya terbilang masih sangat alami.
Menurut Cheong, warganya masih kuat bekerja sebagai petani. Produk pertanian organik dari wilayah itu sangat terkenal dan dihargai mahal, menyaingi produk serupa dari Pulau Jeju.
Suasana di desa Cheong terbilang sepi dengan bangunan perumahan modern berhalaman luas dan asri. Hanya satu dua mobil tampak lalu lalang atau terparkir di depan rumah.
Beberapa warga yang tampak pun memang terbilang sudah berusia lanjut. Desa itu juga dibuka sebagai desa wisata di mana para turis bisa menginap dan merasakan kehidupan keseharian di sana.
Kawasan wisata tertata
Berwisata di kawasan sekitar DMZ itu memang terbilang menjadi pengalaman yang sangat berkesan.
Mengutip pernyataan dosen studi Indonesia di Universitas Hankuk untuk Studi Asing (HUFS), Maman S Mahayana, yang ditemui terpisah, Pemerintah Korsel telah sangat berhasil mengubah kawasan tersebut.
Lokasi yang jadi simbol trauma perang masa lalu kini menjadi kawasan yang bisa menjadi bahan ajar sejarah negeri itu bagi generasi penerus.
Tak hanya itu, Pemerintah Korsel juga berhasil mengubah daerah paling berbahaya itu menjadi kawasan wisata sejarah menarik, yang mampu menarik devisa dari para wisatawan asing yang datang.
Seperti juga tampak di banyak kawasan wisata yang menjadi lokasi kunjungan program beasiswa, kawasan DMZ tertata dengan sangat baik.
Lokasi parkir yang luas sanggup menampung hingga ratusan bus wisata berukuran besar, sarana prasarana toilet, restoran, toko cendera mata, semuanya tertata rapi, serta adanya fasilitas gedung museum.
Sejumlah titik atraksi wisatawan bersejarah yang ada di sekitar wilayah DMZ itu antara lain sejumlah lokasi menara pemantau di mana para pengunjung dapat melihat wilayah Korut lewat sejumlah teropong binokuler yang disediakan.
Selain itu, para wisatawan juga bisa mengunjungi salah satu dari empat lokasi tempat ditemukannya terowongan yang digali dan dipakai pasukan Korut untuk masuk ke wilayah Korsel.
Salah satu terowongan yang Kompas dan rombongan kunjungi adalah terowongan ketiga (3rd Tunnel) yang berhasil diungkap keberadaannya oleh pihak Korsel pada 1978.
Terowongan dengan tinggi dan lebar lorong masing-masing sekitar 2 meter itu dibangun dengan cara meledakkan struktur batu di kedalaman 73 meter di bawah permukaan tanah dengan dinamit.
Panjang terowongan lebih dari 1,6 kilometer dan berhasil masuk jauh melewati perbatasan sampai hanya sekitar 52 kilometer lagi dari ibu kota Seoul.
Terowongan itu diyakini mampu dilalui sedikitnya 30.000 tentara bersenjata lengkap per jamnya. Bisa dibayangkan, jika sampai terowongan itu tak terdeteksi, bagaimana sekali lagi Korut dapat menyerbu Korsel seperti mereka lakukan saat pertama kali Perang Korea terjadi.
Dalam sejarahnya, militer Korut memang terus berupaya menerobos masuk ke wilayah Korsel, bahkan hingga saat ini.
Salah satu operasi infiltrasi fenomenal, yang nyaris sukses dilancarkan Pyongyang, adalah ketika 31 prajurit komando Korut l melintasi perbatasan dan menyamar sebagai militer Korsel lalu menyerang Gedung Biru (kantor kepresidenan).
Pada peristiwa yang terjadi 17 Januari 1968 itu, 29 orang dari penyusup tewas dan dua orang lainnya ditangkap. Mereka menyusup untuk membunuh Presiden Park Chung-hee.
Suasana perang memang masih sangat kental terasa meski bus-bus dan para turis sibuk hilir mudik menikmati sejumlah lokasi wisata di sekitar wilayah lini terdepan pertempuran itu
Sumber :Kompas
0 komentar :
Posting Komentar