PT. Rifan Financindo Berjangka, Ladies, puluhan tahun yang lalu, mungkin akan sangat sulit bagi
generasi orang tua kita untuk tetap dapat keep in touch dengan
teman-temannya selepas lulus sekolah atau kuliah. Perbedaan jarak dan
waktu menjadi penghalang komunikasi. Sekalipun telah ada surat dan
telepon, rasanya biaya yang dikeluarkan dengan interaktivitasnya masih
sangatlah 'jauh'. Berat di ongkos, lebih tepatnya.
Beruntunglah kita, generasi
baby boomersdan
generasi Y yang membaca ini, telah dibantu oleh social media untuk
urusan menjalin komunikasi dengan orang lain. Melalui social media, kita
dapat menjangkau kabar dan berbagi cerita dengan teman-teman tanpa
perlu bertatapan langsung dengan mereka.
Namun, bersocial media
tak sesimpel hanya bertukar kabar, gambar dan video saja. Kemudahan
berbagi informasi tersebut rupanya masih belum diimbangi dengan
kebijakan seseorang dalam menggunakan social media sebagai perantara
berkomunikasi.
Begitu mudahnya seseorang menulis status,
membagikan informasi yang belum tentu dapat dipastikan kebenarannya
hingga meruntuhkan harga diri orang lain melalui unggahan-unggahan di
social media, tanpa memikirkan dampaknya. Kemudahan yang ditawarkan,
kemudian tak diimbangi dengan empati. Akibatnya gesekan pun terjadi. Ya,
semuanya gara-gara jempol.
Kita memang tak bisa serta-merta
menyuruh orang lain untuk berhenti 'bereksperimen' di ranah online.
Alih-alih menerima kritik, yang ada justru empunya akun akan melotot dan
membentak,
"Siapa lo, atur-atur hidup gue?"Well. Saatnya kontrol ada di tangan kita sendiri.
Kurangi Racun Dalam Hati, Semudah Tekan Tombol Unfollow atau Unshare
Berapa
di antara kita yang tak suka dengan seseorang, bermasalah dengannya,
tetapi tetap berteman di social media ... dengan tujuan untuk menelusuri
hidupnya dan membicarakannya di belakang?
Oh, big no no!Barangkali
terlihat sederhana, tapi hal-hal seperti inilah yang memupuk racun
dalam diri tanpa disadari. Kita punya pilihan: menjadi manusia pembenci
selamanya atau sesederhana tekan tombol 'unfollow' atau 'unshare' saja.
Jika Tak Mampu Menemukan Kalimat Yang Baik, Lewati Saja Komentarnya
Edward Bulwer-Lytton, seorang penyair berkebangsaaan Inggris, dalam karyanya pernah menuliskan,
"The pen is mightier than the sword".
Dapat diartikan bebas dengan: Apa yang kita tulis atau ucapkan lebih
tajam ketimbang pedang. Rasanya sudah banyak sekali kasus-kasus yang
menggemparkan Indonesia hanya karena perkara cuitan di social media yang
menyinggung satu sama lain. Sementara akhirnya kita menjadi sangat
terbiasa melihat netizen berperang satu sama lain di kolom komentar,
menyinggung dan menempatkan standar nilai hidup kita kepada orang lain.
Tulisan-tulisan
menghujat, terlebih yang diarahkan untuk mempermalukan secara fisik,
sangat mudah kita lontarkan di balik layar komputer atau smartphone.
"Gendut", "jelek", "monyong" dan kata-kata negatif, mungkin tak bisa
kita lihat secara langsung dampaknya.
Tetapi siapa yang tahu,
ada seseorang yang diam-diam menangis dan membuang seluruh makanannya
setiap hari, menyiksa dirinya agar kelaparan supaya tak lagi dipanggil
"Gajah", lari berkilo-kilo meter dan kesulitan mendapatkan tubuh
sesintal model-model ternama. Terlebih lagi, siapa tahu ada seseorang
yang merasa dirinya tidak lagi berharga, hanya karena sebuah komentar di
social media.
Pada akhirnya, social media hanyalah alat.
Keputusan ada pada jempol tiap-tiap mereka yang dapat mengaksesnya.
Semoga 'alat' yang awalnya diciptakan untuk tujuan yang baik ini,
berubah menjadi racun yang menggerogoti pikiran serta jiwa penggunanya.
Be wise, because you are what you tweet! PT. Rifan Financindo Berjangka
Sumber :
Vemale